Keteladanan dan
Minat Baca
Oleh : Indria
Mustika
“ Buku-buku memberi
makan pada jiwa yang lapar...”, tulis RA Kartini kepada Ny Abendanon,
Agustus 1900. Sebab bagi R.A. Kartini, buku bukan hanya sebagai pelipur
hati saat tubuh dan jiwanya terpasung dibalik
dinding pingitan, tetapi
buku adalah sumber inspirasi. Dari buku R.A. Kartini mendapatkan banyak sekali pengetahuan, wawasan baru, nilai peradaban dan bahkan semangat.
Namun
kisah persahabatan R.A. Kartini dan buku -
buku yang sangat inspiratif 118
tahun yang lalu itu belum sepenuhnya dapat kita teladani. Data yang menyedihkan dirilis
UNESCO. Pada tahun 2015, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya
dari 1.000 orang, hanya ada 1 orang
yang memiliki minat baca. Sementara minat baca tetangga dekat
kita, Malaysia dan Singapura jauh
melampaui kita. Hingga tidak mengherankan dalam banyak hal kita ketinggalan dengan dua negara itu. Dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ) negara-negara ASEAN tahun 2015 yang dikeluarkan oleh UNDP, IPM Indonesia
pada tahun tersebut baru 68,9. Sedangkan
Malaysia telah mencapai 78,9 dan
Singapura jauh meninggalkan kita pada
angka 92,5. Rendahnya IPM ini memiliki pengaruh kuat terhadap pembangunan kapasitas
sumber daya manusia.
Empat penyebab utama
Menurut penulis ada lima penyebab
utama rendahnya minat baca di Indonesia. Pertama;
kurangnya keteladan. Membaca belum menjadi kebiasaan, bukan saja dari orang tua
dan lingkungan keluarga , tetapi juga para guru. Tidak banyak orang tua yang mengajarkan
anak-anaknya membaca dan membimbingnya menjadi
sebuah kebiasaan. Apalagi memberi contoh dengan perilaku membaca.
Demikian juga guru. Mereka biasanya hanya membaca buku-buku yang terkait dengan
materi ajar yang di ampu. Mengunjungi perpustakaan sekolah dan membaca buku belum menjadi
kebiasaan guru yang dapat dilihat sebagai teladan bagi
siswanya.
Kedua,
sistem pembelajaran di sekolah yang lebih berorientasi pada nilai-nilai akademik, dan mengabaikan proses peningkatan potensi diri siswa secara
utuh. Akhirnya siswa hanya diarahkan membaca buku-buku paket yang terkait dengan kurikulum.
Ketiga, dampak liar teknologi informasi yang sangat menyita waktu dan perhatian warga
masyarakat. Televisi dan media
sosial lebih mendominasi pemenuhan informasi dan hiburan ketimbang
buku.
Keempat; kurang adanya
pembimbingan membaca yang terstrukur dan
sistematis. Akhirnya membaca hanya
berhenti sebatas mendapatkan informasi dari baku, dan tidak mengembangkannya
menjadi sebuah imajinasi yang dapat mendorong tumbuhnya kreatifitas, inovasi
dan semangat untuk maju .
Gerakan
bersama.
Meningkatkan minat baca tidak
boleh hanya berhenti sebatas program. Tetapi harus menjadi gerakan bersama semua elemen
masyarakat, termasuk para pemangku
kepentingan. Karena itu harus tumbuh kesadaran dan keinginan bersama agar virus literasi bisa menjadi sebuah gerakan bersama yang integratif.
Dalam kaitannya dengan upaya untuk
meningkatkan minat baca masyarakat, ada empat hal yang menurut penulis penting untuk dilakukan.
Pertama; Payung hukum Pembudayaan Kegemaran Membaca. Diperlukan
landasan hukum yang menjadikan minat
baca sebagai sebuah gerakan.
Peraturan tersebut secara
integratif harus memuat pokok-pokok
ketentuan tentang peran masing-masing pemangku kepentingan, termasuk sumber-sumber
pembiayaan.
Kedua; menjadikan keluarga sebagai awal basis gerakan. Kebiasaan membaca harus ditumbuhkan sedini
mungkin ditengah-tengah keluarga. Anak-anak
sejak balita harus dikenalkan dengan kebiasaan membaca. Tentu harus
disediakan buku-buku yang dapat menarik
minat dan perhatian anak. Pembatasan,
pembimbingan dan keteladanan orang tua
dalam menggunakan
smartphone, android dan televisi
juga harus harus dilakukan untuk mengurangi dampak liar tehnologi.
Ketiga; guru sebagai mentor. Keteladanan dan
pembimbingan dari seorang guru akan sangat efektif bagi
tumbuhnya minat baca dikalangan
siswa. Bisa dimulai dengan
kewajiban membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 23 tahun 2015. Namun yang tak kalah penting adalah pembimbingan bagi siswa
untuk membaca buku secara baik dan benar. Disamping itu, sekolah dan madrasah
juga harus mengalokasikan dana
untuk pembelian buku sebagaimana diatur dalam
UU RI No.43 tahun 2007 tentang
Perpustakaan, pasal 23 ayat6 : Sekolah
dan madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5 persen dari anggaran belanja operasional sekolah atau belanja barang diluar
belanja pegawai dan belanja modal untuk
pengembangan perpustakaan.
Keempat : membangun perpustakaan yang
menarik . Perpustakaan tidak boleh hanya ada di ibukota kabupaten, tetapi juga di tiap-tiap kecamatan. Juga perlu membuat sudut baca di kantor-kantor
pemerintah. Disamping itu, setiap desa harus memiliki taman baca
yang dikelola dengan baik.
Namun
penulis menyadari, tidak mudah untuk menjadikan minat baca sebagai sebuah
gerakan bersama. Karena itu diperlukan
kerja keras dan sungguh-sungguh
dari semua fihak, utamanya pemerintah
yang karena fungsinya seharusnya menjadi
dirijen dari gerakan ini. Mengembangkan minat baca adalah sebuah keniscayaan.
Sebab membaca manfaatnya besar dalam
menggerakan pembangunan peradaban
bangsa. (*)
Indria Mustika S.Pd,
M.Pd, Ketua Jurusan Tata Busana SMKN 2 Jepara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar