Sabtu, 29 Desember 2018

Keteladanan dan Minat Baca,


Keteladanan dan Minat  Baca
Oleh : Indria Mustika
“ Buku-buku  memberi makan pada jiwa yang  lapar...,  tulis RA Kartini  kepada Ny Abendanon, Agustus 1900. Sebab bagi R.A. Kartini, buku bukan hanya sebagai pelipur hati saat tubuh dan jiwanya terpasung dibalik  dinding  pingitan, tetapi buku  adalah sumber inspirasi. Dari buku   R.A. Kartini mendapatkan  banyak sekali  pengetahuan, wawasan baru, nilai peradaban  dan bahkan semangat.
Namun  kisah  persahabatan  R.A. Kartini dan  buku -  buku yang sangat  inspiratif 118 tahun yang lalu   itu belum   sepenuhnya dapat kita teladani. Data yang  menyedihkan  dirilis  UNESCO.  Pada  tahun 2015, minat baca masyarakat  Indonesia hanya 0,001 persen.   Artinya dari 1.000  orang, hanya ada  1 orang  yang memiliki minat baca. Sementara minat baca  tetangga dekat  kita, Malaysia dan  Singapura jauh melampaui  kita. Hingga tidak  mengherankan dalam banyak  hal kita ketinggalan  dengan dua negara itu. Dalam laporan  Indeks Pembangunan  Manusia ( IPM )  negara-negara ASEAN tahun 2015  yang dikeluarkan oleh UNDP, IPM Indonesia pada  tahun tersebut baru 68,9.  Sedangkan   Malaysia telah mencapai  78,9 dan Singapura jauh meninggalkan kita  pada angka 92,5. Rendahnya IPM ini  memiliki  pengaruh kuat terhadap pembangunan kapasitas sumber daya manusia.                       
                                                                                            Empat penyebab utama
Menurut penulis ada lima penyebab utama rendahnya minat baca di Indonesia. Pertama; kurangnya keteladan. Membaca belum menjadi kebiasaan, bukan saja dari orang tua dan lingkungan keluarga , tetapi juga  para guru. Tidak  banyak orang tua yang mengajarkan anak-anaknya membaca dan membimbingnya menjadi  sebuah kebiasaan. Apalagi memberi contoh dengan perilaku membaca. Demikian juga guru.  Mereka biasanya  hanya membaca buku-buku yang terkait dengan materi ajar yang di ampu. Mengunjungi perpustakaan sekolah  dan membaca buku  belum menjadi  kebiasaan guru   yang dapat dilihat sebagai teladan bagi siswanya.
 Kedua, sistem  pembelajaran di sekolah yang  lebih berorientasi  pada nilai-nilai akademik,  dan mengabaikan  proses peningkatan potensi diri siswa secara utuh. Akhirnya siswa hanya diarahkan membaca buku-buku paket yang  terkait dengan kurikulum.  
Ketiga, dampak liar teknologi informasi  yang sangat menyita waktu dan perhatian warga masyarakat. Televisi dan  media sosial  lebih mendominasi  pemenuhan informasi dan hiburan ketimbang buku.
Keempat; kurang  adanya pembimbingan  membaca yang terstrukur dan sistematis. Akhirnya membaca  hanya berhenti sebatas mendapatkan informasi dari baku, dan tidak mengembangkannya menjadi sebuah imajinasi yang dapat mendorong tumbuhnya kreatifitas, inovasi dan semangat untuk maju .             
                                                                                                      Gerakan  bersama.
Meningkatkan minat baca tidak boleh  hanya  berhenti sebatas program.  Tetapi  harus menjadi gerakan bersama semua elemen masyarakat, termasuk para pemangku  kepentingan. Karena itu harus tumbuh kesadaran dan keinginan  bersama agar virus  literasi  bisa menjadi sebuah gerakan bersama yang integratif. Dalam  kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan minat baca masyarakat, ada empat  hal yang menurut penulis penting untuk  dilakukan.
Pertama; Payung hukum  Pembudayaan Kegemaran Membaca. Diperlukan landasan hukum yang menjadikan minat  baca sebagai sebuah gerakan.  Peraturan  tersebut secara integratif harus  memuat pokok-pokok ketentuan tentang peran masing-masing  pemangku kepentingan, termasuk sumber-sumber pembiayaan.
 Kedua; menjadikan keluarga sebagai awal  basis gerakan.  Kebiasaan membaca harus ditumbuhkan sedini mungkin ditengah-tengah keluarga. Anak-anak  sejak balita harus dikenalkan dengan kebiasaan membaca. Tentu harus disediakan buku-buku yang dapat menarik  minat dan perhatian anak. Pembatasan,  pembimbingan dan keteladanan orang tua  dalam  menggunakan smartphone,  android dan televisi juga  harus  harus dilakukan untuk mengurangi dampak  liar tehnologi.  
Ketiga;   guru sebagai mentor. Keteladanan dan pembimbingan dari seorang guru akan sangat efektif  bagi  tumbuhnya minat baca dikalangan  siswa.  Bisa dimulai  dengan  kewajiban membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai  sebagaimana diatur dalam  Permendikbud No. 23  tahun 2015. Namun yang tak  kalah penting adalah pembimbingan bagi siswa untuk membaca buku secara baik dan benar. Disamping  itu, sekolah dan  madrasah  juga harus  mengalokasikan dana untuk pembelian buku sebagaimana diatur dalam    UU RI  No.43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, pasal  23 ayat6 : Sekolah dan  madrasah mengalokasikan  dana paling sedikit 5 persen dari anggaran   belanja operasional  sekolah atau belanja barang diluar belanja  pegawai dan belanja modal untuk pengembangan  perpustakaan.
Keempat : membangun perpustakaan yang menarik . Perpustakaan tidak boleh hanya ada di ibukota kabupaten,  tetapi juga di tiap-tiap kecamatan. Juga  perlu membuat sudut baca di kantor-kantor pemerintah. Disamping  itu,        setiap desa harus memiliki taman baca yang dikelola dengan baik.
  Namun penulis  menyadari,  tidak mudah  untuk menjadikan minat baca sebagai sebuah gerakan bersama.  Karena itu diperlukan kerja keras dan sungguh-sungguh   dari  semua fihak, utamanya pemerintah yang karena  fungsinya seharusnya  menjadi  dirijen dari gerakan ini. Mengembangkan minat baca adalah sebuah keniscayaan.  Sebab membaca manfaatnya besar dalam menggerakan  pembangunan peradaban bangsa. (*)
Indria Mustika S.Pd,  M.Pd, Ketua Jurusan Tata Busana SMKN 2 Jepara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar