Daya
Saing Lulusan SMK Sebuah Keniscayaan
Indria Mustika
Data
yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah bulan Agustus 2017
harus dijawab oleh para pengelola satuan pendidikan SMK dengan kerja keras.
Sebab berdasarkan data ini, tingkat pengangguran terbuka di Jawa Tengah sekitar
820.000 orang, justru menempatkan lulusan SMK rangking pertama yang memberikan
kontribusi terhadap pengangguran terbuka dengan angka 11,08 persen. Sedangkan
lulusan SMA hanya sebesar 7,10 persen. Padahal pada bulan Februari 2017 tingkat
pengangguran terbuka lulusan SMK baru 8,07 persen dan lulusan SMA 6,51 persen.
Data
di atas harus dimaknai sebagai tantangan. Sebab sesuai amanat pasal 15 UU No.
20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kehadiran SMK dirancang untuk
menyiapkan lulusannya dapat bekerja sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.
Memang tidak mudah,sebab dinamika pasar kerja berubah cepat akibat kemajuan
teknologi. Karena itu ada banyak persoalan yang dihadapi untuk meningkatkan
daya saing lulusan SMK di Jawa Tengah lima tahun mendatang.
Pertama;
dinamika pasar kerja yang berubah cepat akibat kemajuan teknologi dan kebijakan
investasi, telah mengakibatkan perubahan karakteristik dunia kerja yang
menuntut kombinasi ketrampilan dan kemampuan berfikir logis. Pada tahun 2016,
PMA di Jawa Tengah mencapai Rp.13,7 trilyun, dari 46 negara yang tersebar di
1.060 proyek investasi. Tentu hal ini menjadi tantangan dalam penyiapan tenaga
kerja sesuai dengan teknologi yang menyertainya.
Kedua;
profesionalitas dan ketercukupan guru. Di Jawa Tengah saat ini terdapat 1.568
SMK yang terdiri dari 234 SMK Negeri dan 1.334 SMK Swasta. Sedangkan guru yang
ada tercatat 34.965 orang yang terdiri dari 10.684 orang guru di sekolah negeri
dan 24.281 orang guru di sekolah swasta. Berdasarkan data yang ada di
Direktotrat SMK Kemendikbud, mayoritas guru SMK berasal dari guru kelompok mata
pelajaran bidang normatif dan adaftif. Sedangkan yang berkualifikasi guru
kelompok mata pelajaran bidang produktif yang mempunyai sertifikat kompetensi hanya
22 persen. Perbandingan prosentase ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di
Jawa Tengah.
Ketiga;
karakteristik peserta didik yang sejak kecil telah terpapar teknologi
informasi, tentu lebih menyukai pembelajaran dengan menggunakan teknologi
informasi. Pada kelompok ini pengajaran konvensional dengan tatap muka dan
menggunakan sarana pembelajaran tradisonal tentu tidak menarik sehingga kurang mampu
menumbuhkan minat belajar.
Keempat,
keterbatasan sarana praktek. Jika dibandingkan dengan peralatan produksi dunia
industri yang terus berkembang, banyak satuan pendidikan SMK yang peralatan
prakteknya ketinggalan jaman. Akibatnya lulusan tidak siap bekerja didunia
industri yang menggunakan teknologi baru.
Kelima;
pembukaan sekolah baru dan juga program keahlian belum sepenuhnya didasarkan
pada analisis proyeksi ketrampilan yang yang dibutuhkan oleh pasar kerja serta
arah prioritas pembangunan, termasuk ketersediaan tenaga pendidik yang memiliki
kompentensi.
Persoalan
daya saing lulusan SMK ini dilihat sebagai persoalan serius oleh presiden
hingga dikeluarkan Instruksi Presiden No 9 tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK.
Walaupun program revitalisasi ini harus dipahami secara integratif dan
komprehensif, menurut hemat penulis ada lima hal penting dalam meningkatkan
daya saing lulusan SMK.
Pertama; profesionalisme
yang terus berkembang. Karena dunia usaha dan dunia industri terus bergerak
dinamis, maka harus dijawab dengan peningkatan secara terus menerus kemampuan,
sikap dan ketrampilan guru agar tidak tertinggal oleh kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi dan bahkan tidak mampu merespon karakteristik siswa.
Kecenderungan adanya perubahan pasar kerja yang menuntut perpaduan antara
kompetensi dan kapabilitas, menurut penulis bisa dijawab dengan inovasi
pembelajaran melalui pembelajaran kreatif. Pengintegrasian mata pelajaran
normanda adaftif dengan mata pelajaran produktif serta penggunaan teknologi
informasi dalam proses pembelajaran bisa jadi solusi untuk menumbuhkan minat, imajinasi,
kreatifitas, ide, gagasan, kepercayaan diri, dan adaftif terhadap perubahan di
dunia kerja.
Kedua;
ketercukupan guru produktif baik dari sisi
kualifikasi akademik maupun kompetensinya. Karena itu harus ada validasi data
terkait dengan proyeksi kebutuhan guru produktif, termasuk berkurangnya jumlah
guru produktif karena pensiun. Jika pemenuhan hanya bertumpu pada rekruitmen
Pegawai Negeri Sipil maka ketercukupan guru produktif sangat lama. Karena itu
harus ada regulasi bagi pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja
bagi para guru. Sebab UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara justru
menutup peluang guru, karena termasuk profesi yang melaksanakan urusan
pemerintah yang bersifat wajib. Disamping itu, perlu regulasi untuk mengatasi
kekurangan guru melalui pengangkatan guru kontrak dengan menggunakan tenaga
profesional dari dunia usaha. Cara lain adalah melalui program keahlian ganda,
yaitu pengalihan fungsi ke mapel produktif melalui sertifikasi dan kompetensi.
Namun program ini menurut hemat penulis seyogyanya diperuntukan bagi guru berusia
muda.
Ketiga;
rekruitmen kepala sekolah. Mengingat posisinya yang sangat penting dan
strategis dalam mengembangkan sekolah vokasi, maka dalam rekruitmen kepala
sekolah menurut hemat penulis perlu mulai dipertimbangkan salah satu
kriterianya berasal dari guru produktif. Sehingga telah memahami dasar, konsep
dan pengembangan sekolah vokasi.
Keempat; fasilitasi kerjasama dengan
dunia usaha. Agar SMK bisa mengarah pada permintaan pasar, maka perlu
keterlibatan dan dukungan dunia industri yang ada di daerah. Karena itu perlu
fasilitasi pemerintah daerah agar dunia industri membuka diri untuk tempat
praktek siswa, magang guru, serta membantu sarana praktek melalui dana CSR.
Kelima
: pengkajian dan pengendalian program keahlian. Agar
lulusan SMK dapat terserap pada dunia kerja sesuai dengan kompetensi yang
dimilikiinya, maka perlu ada pengkajian dan pengendalian program keahlian, baik
pada sekolah yang telah berjalan maupun sekolah yang akan didirikan. Pengkajian
dan pengendalian ini sangat penting kaitannya dengan proyeksi kebutuhan pasar
kerja. Bagi program keahlian yang pasarnya telah jenuh menurut hemat penulis
perlu dikendalikan.
Meningkatkan
daya saing lulusan SMK adalah sebuah keniscayaan. Tidak mudah memang. Namun
kita harus menerima tanggungjawab itu sebagai sebuah kewajiban. Bukan hanya
karena pendidikan vokasi menjadi salah satu prioritas utama pendidikan
nasional, tetapi masa depan bangsa ini harus dipastikan diserahkan kepada
generasi yang memiliki daya saing. Karena di sinilah harkat dan martabat bangsa
kita dipertaruhkan dalam persaingan global. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar