Senin, 02 Agustus 2021

Daya Saing Lulusan SMK Sebuah Keniscayaan

 

Daya Saing Lulusan SMK Sebuah Keniscayaan

Indria Mustika

 

Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah bulan Agustus 2017 harus dijawab oleh para pengelola satuan pendidikan SMK dengan kerja keras. Sebab berdasarkan data ini, tingkat pengangguran terbuka di Jawa Tengah sekitar 820.000 orang, justru menempatkan lulusan SMK rangking pertama yang memberikan kontribusi terhadap pengangguran terbuka dengan angka 11,08 persen. Sedangkan lulusan SMA hanya sebesar 7,10 persen. Padahal pada bulan Februari 2017 tingkat pengangguran terbuka lulusan SMK baru 8,07 persen dan lulusan SMA 6,51 persen.

Data di atas harus dimaknai sebagai tantangan. Sebab sesuai amanat pasal 15 UU No. 20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kehadiran SMK dirancang untuk menyiapkan lulusannya dapat bekerja sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Memang tidak mudah,sebab dinamika pasar kerja berubah cepat akibat kemajuan teknologi. Karena itu ada banyak persoalan yang dihadapi untuk meningkatkan daya saing lulusan SMK di Jawa Tengah lima tahun mendatang.

Pertama; dinamika pasar kerja yang berubah cepat akibat kemajuan teknologi dan kebijakan investasi, telah mengakibatkan perubahan karakteristik dunia kerja yang menuntut kombinasi ketrampilan dan kemampuan berfikir logis. Pada tahun 2016, PMA di Jawa Tengah mencapai Rp.13,7 trilyun, dari 46 negara yang tersebar di 1.060 proyek investasi. Tentu hal ini menjadi tantangan dalam penyiapan tenaga kerja sesuai dengan teknologi yang menyertainya.

Kedua; profesionalitas dan ketercukupan guru. Di Jawa Tengah saat ini terdapat 1.568 SMK yang terdiri dari 234 SMK Negeri dan 1.334 SMK Swasta. Sedangkan guru yang ada tercatat 34.965 orang yang terdiri dari 10.684 orang guru di sekolah negeri dan 24.281 orang guru di sekolah swasta. Berdasarkan data yang ada di Direktotrat SMK Kemendikbud, mayoritas guru SMK berasal dari guru kelompok mata pelajaran bidang normatif dan adaftif. Sedangkan yang berkualifikasi guru kelompok mata pelajaran bidang produktif yang mempunyai sertifikat kompetensi hanya 22 persen. Perbandingan prosentase ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di Jawa Tengah.

Ketiga; karakteristik peserta didik yang sejak kecil telah terpapar teknologi informasi, tentu lebih menyukai pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi. Pada kelompok ini pengajaran konvensional dengan tatap muka dan menggunakan sarana pembelajaran tradisonal tentu tidak menarik sehingga kurang mampu menumbuhkan minat belajar.

Keempat, keterbatasan sarana praktek. Jika dibandingkan dengan peralatan produksi dunia industri yang terus berkembang, banyak satuan pendidikan SMK yang peralatan prakteknya ketinggalan jaman. Akibatnya lulusan tidak siap bekerja didunia industri yang menggunakan teknologi baru.

Kelima; pembukaan sekolah baru dan juga program keahlian belum sepenuhnya didasarkan pada analisis proyeksi ketrampilan yang yang dibutuhkan oleh pasar kerja serta arah prioritas pembangunan, termasuk ketersediaan tenaga pendidik yang memiliki kompentensi.

 Persoalan daya saing lulusan SMK ini dilihat sebagai persoalan serius oleh presiden hingga dikeluarkan Instruksi Presiden No 9 tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK. Walaupun program revitalisasi ini harus dipahami secara integratif dan komprehensif, menurut hemat penulis ada lima hal penting dalam meningkatkan daya saing lulusan SMK.

 Pertama; profesionalisme yang terus berkembang. Karena dunia usaha dan dunia industri terus bergerak dinamis, maka harus dijawab dengan peningkatan secara terus menerus kemampuan, sikap dan ketrampilan guru agar tidak tertinggal oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan bahkan tidak mampu merespon karakteristik siswa. Kecenderungan adanya perubahan pasar kerja yang menuntut perpaduan antara kompetensi dan kapabilitas, menurut penulis bisa dijawab dengan inovasi pembelajaran melalui pembelajaran kreatif. Pengintegrasian mata pelajaran normanda adaftif dengan mata pelajaran produktif serta penggunaan teknologi informasi dalam proses pembelajaran bisa jadi solusi untuk menumbuhkan minat, imajinasi, kreatifitas, ide, gagasan, kepercayaan diri, dan adaftif terhadap perubahan di dunia kerja.

Kedua; ketercukupan guru produktif baik dari sisi kualifikasi akademik maupun kompetensinya. Karena itu harus ada validasi data terkait dengan proyeksi kebutuhan guru produktif, termasuk berkurangnya jumlah guru produktif karena pensiun. Jika pemenuhan hanya bertumpu pada rekruitmen Pegawai Negeri Sipil maka ketercukupan guru produktif sangat lama. Karena itu harus ada regulasi bagi pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja bagi para guru. Sebab UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara justru menutup peluang guru, karena termasuk profesi yang melaksanakan urusan pemerintah yang bersifat wajib. Disamping itu, perlu regulasi untuk mengatasi kekurangan guru melalui pengangkatan guru kontrak dengan menggunakan tenaga profesional dari dunia usaha. Cara lain adalah melalui program keahlian ganda, yaitu pengalihan fungsi ke mapel produktif melalui sertifikasi dan kompetensi. Namun program ini menurut hemat penulis seyogyanya diperuntukan bagi guru berusia muda.

Ketiga; rekruitmen kepala sekolah. Mengingat posisinya yang sangat penting dan strategis dalam mengembangkan sekolah vokasi, maka dalam rekruitmen kepala sekolah menurut hemat penulis perlu mulai dipertimbangkan salah satu kriterianya berasal dari guru produktif. Sehingga telah memahami dasar, konsep dan pengembangan sekolah vokasi.

 Keempat; fasilitasi kerjasama dengan dunia usaha. Agar SMK bisa mengarah pada permintaan pasar, maka perlu keterlibatan dan dukungan dunia industri yang ada di daerah. Karena itu perlu fasilitasi pemerintah daerah agar dunia industri membuka diri untuk tempat praktek siswa, magang guru, serta membantu sarana praktek melalui dana CSR.

Kelima : pengkajian dan pengendalian program keahlian. Agar lulusan SMK dapat terserap pada dunia kerja sesuai dengan kompetensi yang dimilikiinya, maka perlu ada pengkajian dan pengendalian program keahlian, baik pada sekolah yang telah berjalan maupun sekolah yang akan didirikan. Pengkajian dan pengendalian ini sangat penting kaitannya dengan proyeksi kebutuhan pasar kerja. Bagi program keahlian yang pasarnya telah jenuh menurut hemat penulis perlu dikendalikan.

Meningkatkan daya saing lulusan SMK adalah sebuah keniscayaan. Tidak mudah memang. Namun kita harus menerima tanggungjawab itu sebagai sebuah kewajiban. Bukan hanya karena pendidikan vokasi menjadi salah satu prioritas utama pendidikan nasional, tetapi masa depan bangsa ini harus dipastikan diserahkan kepada generasi yang memiliki daya saing. Karena di sinilah harkat dan martabat bangsa kita dipertaruhkan dalam persaingan global. (*)

Indria  Mustika, SP.d, M.Pd,  adalah Ketua Jurusan Tata Busana, SMKN 2 Jepara

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar