BERANDA:
foto
blangkon. Ironi Payung Berlubang
Seorang
nenek tua berjalan tertatih-tatih di lorong yang belum
beraspal di pagi yang tidak bersahabat. Sebab pagi itu hujan
mengguyur demikian lebat. Namun kondisi itu tak menyurutkan langkah nenek
tua itu menuju pasar di desanya. Karena hujan, ia
membungkus bakul berisi barang dagangannya dengan plastik dan mengikatnya
dengan pelepah pisang. Sementara untuk melindungi kepala dan badannya dari
derasnya air hujan, tangan kanannya memegang payung sementara tangan yang lain
menenteng ikatan daun pisang. Telah lebih 45 tahun ibu tua
itu berjualan pecel dan tumis kangkung
Ibu tua itu sadar. Ia sepenuhnya tidak dapat berlindung dari terpaan air
hujan yang disertai angin kencang. Karena ia tahu, payung yang telah usang itu
telah robek di beberapa bagian. Payung itu tetap saja tak mampu menahan
derasnya air hujan. Ibu tua itu tetap basah kuyup. Kulit keriputnya nampak
bergetar menahan dinginnya pagi.
****
Hiruk pikuk pembahasan kenaikan BBM benar-benar
membuat Kang Doel galau. Bukan pada harga yang kemudian ditetapkan,
premium menjadi sebesar Rp. 6.500 per liter, tapi justru pada proses
pembahasannya dan juga pada cara-cara menyampaikan pendapat dalam proses
pembahasan.Kang Doel mengerti sudut pandang yang berbeda menghasilkan
kesimpulan yang berbeda pula.
Sebuah episode demokrasi yang menurut Kang Doel tidak
sepatutnya menjadi teladan anak – cucu. “ Yang, nek
domonstrasi kok mesti ono tukaran polisi karo mahasiswa ya. Malah ono
motor sing di bakar barang?” tanya Bintang, cucu saya yang baru
naik kelas tiga SD.
Hal
yang sama juga ditanyakan ketika melihat bagaimana cara-cara anggota DPR
yang terhormat menyampaikan argumentasinya saat membahas RAPBN Perubahan. “
Koyo wong tukaran nang pasar ya Kung” katanya sambil tertawa. Namun itu
pulalah yang membuat Kang Doel semakin risau.
Kerisauan itu pula yang ditanyakan Kang Doel kepada Klepon. “Payung kita
telah berlubang Kang. Dibentangkan tapi tak lagi aman karena bocor dan kita tak
pernah berusaha menembelnya. Pusaka kita juga tak lagi sakti Kang
karena kita tidak pernah merawatnya apalagi menjamasnya sebagaimana
pitutur luhur leluhur kita. Tabir telah di bentangkan Kang, tetapi rohnya
tak lagi dipahami secara benar. Sayap burung garuda kita juga telah
semakin lemah Kang” ujar Klepon yang menambah pernyataannya dengan hasil
evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Kesbangpol Kementerian Dalam
Negeri.
“Kang
ternyata banyak pelajar yang tak hafal urutan Pancasila. Mereka sering
terbalik-balik mengucapkan Pancasila. Apalagi kelompok lain. Kalau hafal saja
tidak, bagaimana mereka bisa menjadikan Pancasila sebagai pegangan hidup dan
mengamalkannya dalam kehIdupan berbangsa dan bernegara?” ujar Klepon semakin
dalam.
Namun
Klepon tak sedikitpun menyalahkan para pelajar yang tak hafal dan bahkan tak
mengerti Pancasila. “Coba saja amati Kang, Pancasila semakin jarang kita dengar
Kang. Apalagi substansinya. Keberadaan Pancasila seperti payung yang
berlubang Kang. Ironisnya kita sendiri yang menusuknya dengan pisau saat payung
itu memayungi kita dari badai. Mestinya sebagai idiologi negara
Pancasila harus memayungi proses reformasi agar tetap pada track yang benar,
“ reinventing and rebuilding” bangsa Ini. Tetapi siapa peduli itu Kang?
Menyedihkan Kang, Ibu Pertiwi kita begitu kedinginan dan kita justru menusuk
kembali payung kita, tidak lagi dengan pisau tetapi dengan pedang
sehingga payung itu robek semakin lebar, ujar Klepon yang semakin putus asa.
(*)
ibu pertiwi yang menangis tak bisa dibiarkan, lalu apa
yang bisa membuatnya tersenyum dan sedikit melalaikan kepedihannya?
mungkin dengan bergandeng tangan bersama menyibak
tabir yang terlanjur membentang, menambal payung yang telah berlubang-lubang
yang pernah tertusuk pedang dengan secarik kain sutera yang kita tenun dengan
segenap jiwa dan rasa cinta, menjahitnya dengan benang emas semangat kita yang
masih tersisa. meski sudah terkoyak karena usia dan keteledoran kita dalam
merawatnya semoga belum terlambat untuk menjadikannya kembali mampu
menaungi dari curahan hujan yang masih saja deras membasahi bumi pertiwi
dengan tanpa perduli.Dengan bergandeng tangan eratkan genggaman jemari kita
dengan penuh rasa setia dan rela meski sempat basah dan lelah jiwa kita
namun masih ada semangat menggelora tuk kembali tegakkan Pancasila. Memang
tidaklah mudah untuk berdiri lagi ...namun dengan tulus dan tak mudah
menyerah kembalikan eksistensinya kembalikan kesaktiannya yang memang masih
terpancar dari jiwa kita yang paling dalam. Kang Doel.. generasi setelah kita
memang sangat berbeda, namun mereka masih tetap tanggungjawab kita sebagai
penerus tanah air tercinta.. siapa lagi yang mau perduli jika bukan kita? meski
dengan perang yang besar melawan globalisasi namun kita masih memiliki
Pancasila yang bisa dijadikan tamengnya. Kita yang berjuang Kang.. kita yang
harus menjaga Indonesia tercinta dengan menyelamatkan idiologi kembali pada
cita-cita pendirian bangsa kita... tentu saja dengan melibatkan dan menempatkan
mereka di haluan terdepan bersama kita. kita masih bisa ...kita masih
dibutuhkan pertiwi tercinta.... karena kita penuh dengan rasa bangga jadi warga
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar