Senin, 02 Agustus 2021

Ironi Payung Berlubang

 

BERANDA:

foto blangkon.      Ironi Payung Berlubang

Seorang nenek    tua berjalan tertatih-tatih di lorong  yang belum beraspal di pagi  yang tidak bersahabat. Sebab pagi itu hujan   mengguyur demikian lebat. Namun kondisi itu  tak menyurutkan langkah nenek tua   itu menuju   pasar di desanya. Karena hujan, ia membungkus  bakul berisi barang dagangannya dengan plastik dan mengikatnya dengan pelepah pisang. Sementara untuk melindungi kepala dan badannya dari derasnya air hujan, tangan kanannya memegang payung sementara tangan yang lain menenteng ikatan daun pisang. Telah lebih 45  tahun ibu tua itu   berjualan   pecel dan tumis kangkung

     Ibu tua itu sadar. Ia sepenuhnya tidak dapat berlindung dari terpaan air hujan yang disertai angin kencang. Karena ia tahu, payung yang telah usang itu telah robek di beberapa bagian. Payung itu  tetap saja tak mampu menahan derasnya air hujan. Ibu tua itu tetap basah kuyup. Kulit keriputnya nampak bergetar menahan dinginnya pagi.

                             ****                      
    Hiruk pikuk pembahasan kenaikan BBM  benar-benar membuat Kang Doel galau. Bukan pada harga yang kemudian ditetapkan,  premium menjadi sebesar Rp. 6.500 per liter, tapi justru pada proses pembahasannya dan juga pada cara-cara menyampaikan pendapat dalam proses pembahasan.Kang Doel mengerti sudut pandang yang berbeda menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
  Sebuah episode demokrasi yang menurut Kang Doel tidak sepatutnya   menjadi teladan anak – cucu.  “ Yang, nek domonstrasi  kok mesti ono tukaran polisi karo mahasiswa ya. Malah ono motor sing di bakar barang?”  tanya Bintang, cucu saya yang baru naik  kelas  tiga SD.

Hal yang sama juga ditanyakan  ketika melihat bagaimana cara-cara anggota DPR yang terhormat menyampaikan argumentasinya saat membahas RAPBN Perubahan. “ Koyo wong tukaran nang pasar  ya Kung” katanya sambil tertawa. Namun itu pulalah yang membuat Kang Doel semakin risau.
Kerisauan itu pula yang ditanyakan Kang Doel kepada  Klepon. “Payung kita telah berlubang Kang. Dibentangkan tapi tak lagi aman karena bocor dan kita tak pernah berusaha menembelnya.  Pusaka  kita juga tak lagi sakti Kang karena  kita tidak pernah merawatnya apalagi menjamasnya sebagaimana pitutur luhur leluhur kita. Tabir telah di bentangkan Kang, tetapi rohnya  tak lagi dipahami secara benar. Sayap burung garuda kita juga  telah semakin lemah Kang” ujar Klepon yang menambah pernyataannya dengan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri.

“Kang ternyata banyak pelajar yang tak hafal urutan Pancasila. Mereka sering terbalik-balik mengucapkan Pancasila. Apalagi kelompok lain. Kalau hafal saja tidak, bagaimana mereka bisa menjadikan Pancasila sebagai pegangan hidup dan mengamalkannya dalam kehIdupan berbangsa dan bernegara?” ujar Klepon semakin dalam.

Namun Klepon tak sedikitpun menyalahkan para pelajar yang tak hafal dan bahkan tak mengerti Pancasila. “Coba saja amati Kang, Pancasila semakin jarang kita dengar Kang. Apalagi substansinya. Keberadaan  Pancasila seperti payung yang berlubang Kang. Ironisnya kita sendiri yang menusuknya dengan pisau saat payung itu memayungi kita dari badai. Mestinya sebagai idiologi negara   Pancasila harus memayungi proses reformasi agar tetap pada track yang benar,  “ reinventing and rebuilding” bangsa Ini. Tetapi siapa peduli itu Kang? Menyedihkan Kang, Ibu Pertiwi kita begitu kedinginan dan kita justru menusuk kembali payung kita,  tidak  lagi dengan pisau tetapi dengan pedang sehingga payung itu robek semakin lebar, ujar Klepon yang semakin putus asa. (*)

ibu pertiwi yang menangis tak bisa dibiarkan, lalu apa yang bisa membuatnya  tersenyum dan sedikit melalaikan kepedihannya?

mungkin dengan bergandeng tangan bersama menyibak tabir yang terlanjur membentang, menambal payung yang telah berlubang-lubang yang pernah tertusuk pedang dengan secarik kain sutera yang kita tenun dengan segenap jiwa dan rasa cinta, menjahitnya dengan benang emas semangat kita yang masih tersisa. meski sudah terkoyak karena usia dan keteledoran kita dalam merawatnya semoga belum terlambat untuk menjadikannya kembali mampu menaungi  dari curahan hujan yang masih saja deras membasahi bumi pertiwi dengan tanpa perduli.Dengan bergandeng tangan eratkan genggaman jemari kita dengan penuh rasa setia dan rela  meski sempat basah dan lelah jiwa kita namun masih ada semangat menggelora tuk kembali tegakkan Pancasila. Memang tidaklah mudah untuk berdiri lagi ...namun dengan tulus dan tak mudah  menyerah kembalikan eksistensinya kembalikan kesaktiannya yang memang masih terpancar dari jiwa kita yang paling dalam. Kang Doel.. generasi setelah kita memang sangat berbeda, namun mereka masih tetap tanggungjawab kita sebagai penerus tanah air tercinta.. siapa lagi yang mau perduli jika bukan kita? meski dengan perang yang besar melawan globalisasi namun kita masih memiliki Pancasila yang bisa dijadikan tamengnya. Kita yang berjuang Kang.. kita yang harus menjaga Indonesia tercinta dengan menyelamatkan idiologi kembali pada cita-cita pendirian bangsa kita... tentu saja dengan melibatkan dan menempatkan mereka di haluan terdepan bersama kita. kita masih bisa ...kita masih dibutuhkan pertiwi tercinta.... karena kita penuh dengan rasa bangga jadi warga Indonesia.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar