Senin, 02 Agustus 2021

Generasi Milenial Menjadi Ibu Bangsa

 

Generasi Milenial Menjadi  Ibu Bangsa                       

                                                Oleh : Indria Mustika

            Salah satu keputusan penting  yang dikeluarkan  Konggres Perempuan Indonesia  II  di Jakarta tahun 1935    adalah menegaskan kewajiban  perempuan Indonesia untuk menjadi Ibu Bangsa. Tujuannya  agar dapat   mendidik generasi baru yang sadar akan kewajiban kebangsaannya. Sementara dalam konggres ke -3 yang berlangsung di Bandung  1938 ditetapkan tanggal 22 Desember  sebagai tonggak peringatan hari ibu dalam tugas besarnya sebagai Ibu Bangsa. Tanggal tersebut adalah saat diseleggarakan Konggres  Perempuan Indonesia I tanggal  22 Desember 1928 di Yogyakarta. Keputusan konggres  ini kemudian dikukuhkan dengan Keputusan Presiden  No. 316 tanggal 16 Desember 1959,  sebagai hari ibu  nasional.

Tugas sejarah kebangsaan sebagai Ibu Bangsa itu tidak berubah. Namun  ada   perbedaan tantangan fundamental  antar generasi yang sangat mendasar. Jika isu yang menjadi persoalan strategis dalam Konggres  Perempuan I.II, III dan IV adalah seputar pendidikan perempuan dan  perkawinan, maka kini persoalan kebangsaan yang dihadapi perempuan semakin rumit. Pasalnya ada   kelalaian bangsa kita dimasa lalu hingga munculnya krisis multidimensional. Krisis itu  diakibatkan oleh redahnya pemahaman  dan pengamalan nilai Pancasila, lunturnya penghargaan terhadap kebinekaan, intoleransi diruang agama, ketidakadilan, demokrasi  yang sedang mencari bentuk, fanatisme kedaerahan hingga  keteladanan pemimpin.

Belum lagi persoalan yang muncul akibat kemajuan teknologi yang telah mengubah budaya, nilai dan perilaku manusia. Termasuk  ibu melenial  yang lahir  antara tahun 1980 – 2000 an dalam mengasuh dan mendidik  anak-anaknya. Ibu milenial ini sangat penting sebab  kelompok ini menjadi generasi pertama yang sejak kecil terpapar teknologi,  jumlahnya sangat banyak serta memiliki karakteristik yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Mereka seperti tidak ingin mengasuh anaknya dengan pola yang pernah  dilakukan oleh orang tuanya. Secara umum gaya pengasuhan orang tua milenial   lebih rileks dan terbuka. Mereka senang jika anaknya mengikuti kegiatan edukatif – kreatif, bukan saja dilingkungan sekolah tetapi juga kegiatan diluar sekolah.

Namun ibu milenial tak ingin seluruh waktunya  menjadi ibu. Mereka ingin memiliki waktu khusus untuk dirinya  sendiri guna  melakukan aktivitas tanpa diganggu urusan rumah tangga. Karena itu pergi bersama ibu-ibu sebaya menjadi salah satu ciri ibu-ibu milenial. Termasuk dalam menggunakan teknologi komunikasi. Media sosial  tak bisa dilepaskan dari aktivitas sehari-hari. Mereka pada umumnya memiliki lebih  2  akun media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan Youtube. Walaupun telah mulai berubah, televisi masih menjadi media favorit ibu milenial untuk mendapatkan hiburan terutama yang tidak bekerja atau tinggal di pedesaan.

Penetrasi teknologi informasi ini  telah membentuk konstruksi berfikir anak-anak dari ibu milenial  yang saat ini berusia  hingga 17-an tahun.  Konstruksi ini   kemudian membentuk pandangan, perilaku dan pola tindak anak-anak bukan hanya pada persoalan sosial budaya, tetapi mencakup pandanganya tentang nilai-nilai  kebangsaan.

Karena itu Ibu mileial harus bersedia belajar agar cerdas menerima panggilan sejarah, menanamkan kesadaran berbangsa kepada anak-anaknya. Tujuannya agar  anak-anak memahami bahwa Indonesia lahir dari keberagam suku bangsa, agama, ras, dan kebudayaan yang diikat oleh ideologi Pancasila. Penulis yakin, kesadaran berbangsa  telah diajarkan di sekolah. Namun keluarga, utamanya ibu  memiliki waktu yang lebih banyak dan peran besar dalam membagun kesadaran  berbangsa dan bernegara yang konteks dan persoalanya berkembang dinamis. Jika  keluarga memiliki pondasi kebangsaaan yang kuat dan bersedia mengajarkan  nilai itu kepada putra-putrinya sesuai dengan perkembangan anak, akan muncul kesadaran untuk menjaga dan merawat Negara Kesatuan Republik Idonesia, termasuk melindungi bangsa ini dari segala ancaman.

Melihat semakin tergerusnya nilai-nilai kebangsaan yang nampak pada semakin maraknya paham  intoleransi, radikalisme dan bahkan gerakan sparatisme, terasa relevansinya kita menghadirkan kembali panggilan sejarah kaum perempuan untuk menjadi Ibu Bangsa. Oleh sebab itu agar peringatan Hari Ibu yang secara rutine kita peringati setiap tanggal 22 Desember tidak berhenti pada kegiatan serimonial, maka perlu revitalisasi peran strategis Ibu Bangsa dalam menamkan, merawat dan memperkokoh semangat kebangsaan putra-putrinya. Juga revitalisasi peringatan hari ibu secara terstruktur  dan berkelajutan. Tujuannya agar hari Ibu dapat senantiasa  menjadi momentum yang senantiasa diperbaharui untuk   menumbuhkan kesadaran kaum perempuan  menerima panggilan sejarah sebagai Ibu Bangsa.

Gerakan menjadi Ibu Bangsa ini harus digelorakan dan di viralkan  menjadi gerakan kolektif  perempuan Indonesia, termasuk  ibu milenial. Bukan hanya aktivis perempuan yang berada diperkotaan, wanita karier, tetapi juga mereka yang berada dipedesaan yang justru jumlahnya lebih banyak. Menurut penulis ada beberapa metode untuk menyebarkan virus kebangsaan ini kepada anak-anak  kelompok ibu  milenial sesuai dengan karakteristik kelompok ini. Keteladanan dalam keluarga,  edukasi kreatif tentang nilai-nilai kebangsaan serta  pendampingan dan pemilihan  media, mungkin  bisa menjadi cara yang efektif.

          Inilah saatnya membangkitkan kembali kesadaran bersama perempuan Indonesia akan  tugas besarnya   yang sangat menentukan masa depan bangsa ini. Tugas mulia itu adalah  mendidik dan membimbing anak bangsa agar menyadari pentingnya menjaga dan merawat NKRI dengan meneguhkan semangat   persatuan, kesatuan,  keberagaman dan  toleransi. Inilah bagian esensi nilai  kebangsaan kita yang selalu  diabaikan ketika kita masuk dalam tahun-tahun politik. (*)

Indria Mustika, M.Pd, adalah guru dan juga  Sekretaris Yayasan Kartini Indonesia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar